SEKELUMIT
PEMIKIRAN DALAM BUKU
“POLITIK BERAS DAN BERAS POLITIK”
Siang itu, udara kota Semarang sangat
panas. Aku memilih untuk berlindung sejenak di depan perpustakaan kampus.
Secara tidak sengaja, mata saya memandang ke arah sebuah box kaca di depan
perpustakaan yang biasa dipakai untuk memajang buku-buku terbitan kampus.
Terlihat satu buku dengan sampul biru yang didesign dengan cukup rapih dan
menarik. Sang penulis memberikan judul yang menarik atas karyanya tersebut: “Politik
Beras dan Beras Politik”. Saya cukup penasaran dengan judul dan terutama isi
dari buku tersebut. Untuk memuaskan rasa keingintahuan saya, maka saya
memberanikan diri untuk mencabut selembar rupiah dari dompet saya untuk bisa
mendapatkan buku tersebut.
Buku ini merupakan buntelan opini
terpilih dari salah seorang dosen di UNDIP; Prof. Dr. Purbayu Budi Santosa,
M.S. Dari data diri beliau, dapat dilihat bahwa penulis mempunyai keprihatinan
yang tinggi terhadap wong cilik. Dari
judul buku yang ditulisnya, sudah dapat kita lihat alur pembelaan yang
dilakukan dalam tulisan ini adalah kaum petani. Indikatornya jelas, bahwa beras
hanya diperoleh dari hasil keringat para petani yang hingga saat ini masih
merayap dan tergilas oleh perkembangan industri yang salah sasaran. Buntelan
opini yang dimuat di beberapa media lokal ini kiranya dapat memberikan kita
beberapa pendasaran mengapa kita mau berdarah-darah membela kaum petani di saat
pembangunan yang dengan kukuhnya yang tajam mencengkram kaum kecil dan yang
lemah.
Lewat tulisan yang sangat sederhana ini
(maklum ide muncul di saat mata sudah menuntut untuk berhenti berkedip sejenak)
saya mencoba mensharingkan beberapa pokok permasalahan dan solusi yang bisa
kita perjuangkan bagi para petani yang tidak lain adalah orang tua kita
sendiri. Buku ini juga membantu kita sedikitnya mengerti mengapa ada begitu
banyak paradox yang terjadi di Republik Sialan ini (meminjam kata Max Regus
dalam bukunya “Republik Sialan”).
Dalam bagian pertama buku ini, penulis
langsung secara terang-terangan memberikan judul tulisannya: “Pertanian Mengatasi Kemiskinan” Spontan muncul pertanyaan dalam pikiran saya,
apakah benar bahwa pertanian dapat mengatasi kemiskinan? Jika benar, mengapa
Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah petani justru menjadi golongan
yang termiskin? Stigma yang ada dalam otak kita ketika kita mendengar kata
petani, adalah kemiskinan. Petani menjadi satu senyawa dengan kemiskinan.
Ketika mendengar atau membaca tentang petani, maka destinasi pemikiran kita
akan berlabuh pada satu kata yaitu miskin. Petani kemudian menjadi indentik
dengan kemiskinan. Lalu mengapa muncul keyakinan bahwa pertanian dapat
mengatasi kemiskinan? Jika keyakinan ini benar, maka ada sesuatu yang tidak
beres dengan system pertanian dan para petani kita.
Secara garis besar, perkembangan
pertanian kita sejak zaman orde lama hingga pascareformasi ini, tidak mengalami
perkembangan yang signifikan. Program pemerintah yang pro pertanian sepertinya
hanya slogan paruh waktu ketika ada moment tertentu. Tapi pada kenyataannya,
bahwa perhatian penuh terhadap sector pertanian masih belum memuaskan. Sudah
60’an tahun kita merdeka tetapi nasib para petani tidak berubah. Walaupun
demikian, sejarah telah menuliskan dengan tinta emas bahwa Indonesia pernah
berhasil menjalankan program swasembada pangan yang kemudian menghantar
presiden Soeharto menerima penghargaan dari organisasi pangan dan pertanian
dunia (FAO) di Roma, Italia. Indonesia juga menjadi satu Negara contoh bagi
Negara-negara berkembang lainnya dalam hal mengatasi kekurangan pangan dan
bahaya kelaparan.
Jika memang demikian, mengapa di saat
sekarang ini, kita menjadi Negara pengimpor beras? Apakah kita tidak mempunyai
lahan untuk menanam padi? Saya pikir kemungkinan ini sangat tipis. Masih banyak
lahan kosong yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang pada semua
lapisan masyarakat. Ada kelemahan mendasar yang kiranya dapat kita refleksikan
dan kita pikirkan untuk mencari solusi yang tepat dan cepat. Kelemahan yang
dimaksud adalah bahwa telah terjadi perubahan struktur perekonomian. Sumbangan
terbesar terhadap pendapatan nasional berasal dari sector atau dari bidang
industry manufaktur. Dan lebih disayangkan lagi adalah banyak tenaga kerja
masih terkungkung dalam sector pertanian. Hal ini membuktikan bahwa bias
pembangunan telah mengarah kepada sector industry dari pada pertanian. Ditambah
lagi dengan industry berteknologi tinggi yang lebih banyak menyerap bahan baku
impor. Ujung dari realitas ini adalah industry pada modal dengan sedikit menyerap
tenaga kerja.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh pemerintah kita. Yang
pertama: masalah urusan pangan dan kebutuhan pokok adalah pilihan pertama
yang harus disadari dan dijalankan oleh pemerintah. Pelepasan kepada mekanisme pasar
adalah satu jebakan dari lebaga resmi dunia, yang bisa juga menyesatkan. Yang kedua, pembangunan industry sudah
saatnya menggunakan sumber daya local, salah satunya adalah sector pertanian. Agroindustri
pedesaan yang berbasis kerakyatan menjadi pilihan yang tepat dalam mengatasi
kemiskinan dan pengangguran. Ketiga,
ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan lahan memerlukan satu kebijakan
penataan ulang lahan yang baik di mana ada penetapan lahan abadi untuk
pertanian. Keempat, struktur pasar
bidang pertanian yang bukan persaingan sempurna perlu diterapkan hukum yang
ketat untuk standar harga komoditas tertentu agar para petani tidak dirugikan. Kelima, membangun sarana dan prasarana
yang memadai yang kiranya dapat membantu pada petani kita untuk mendistribusikan
hasil panennya dalam jumlah yang lebih besar.
Beberapa pandangan dan anjuran di atas
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi kita untuk bangkit menjadi agen perubahan
yang dapat dipercaya. Solusi yang ditawarkan di atas bukannya tidak mungkin untuk
kita lakukan. Rumusannya memang agak mengambang tetapi intinya jelas bahwa
perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan berawal dari kesadaran akan keadaan
diri kita sendiri. Ketika kita sadar bahwa kita miskin, kita tentu berbuat
sesuatu untuk keluar dari keterpurukan kita. Kemauan yang tinggi untuk keluar
dari garis kemiskinan ini menuntut kita untuk lebih giat lagi berjuang. Pihak berikut
yang harus mendukung adalah pemerintah. Dukungan sarana dan prasaran serta
subsidi sementara dari pemerintah masih sangat dibutuhkan di sini agar bisa
menghasilkan produk unggulan.
Masih banyak hal yang menarik yang bisa
kita pelajari dan modifikasi lagi dari pemikiran sederhana dalam buku ini. Kalau
masih ada waktu kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan…