Senin, 22 Juli 2013

    The Last Samurai dalam Perspektif Prilaku Keorganisasian...
The Last Samurai adalah satu film dengan peran gabungan atara orang Jepang dengan pemeran dari dunia Barat. Film dengan kolaborasi peran ini memang sangat menarik. Ketika Jepang sedang gencar membangun dan terbuka terhadap dunia luar (perkembangan dan kemajuan yang ditawarkan dari Barat), terjadi semacam pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok yang masih memegang teguh ajaran dan tradisi kuno Jepang. Film ini menggabungkan dua kebudayaan yang berbeda antara dunia Barat dengan dunia Timur yang diwakili oleh Jepang. Kerja sama yang dijalin antara pemerintah Jepang dengan dunia Barat membawa perubahan dan perkembangan yang pesat dalam bidang transportasi dan juga peralatan perang. Kerja sama ini membawa perubahan dalam pola pikir yang membawa orang Jepang terpecah dan terlibat dalam perang antara sesama orang Jepang.
Situasi perpecahan ini memang membawa satu kesadaran baru dalam diri orang Jepang yang terwakili oleh sikap Kaisar yang membatalkan semua ikatan kerja sama dengan dunia Barat. Kaisar akhirnya sadar bahwa apa yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat malah membawa kerugian bagi masyarakat. Konsep budaya yang berbeda antara dunia Barat dan dunia Timur berpengaruh juga terhadap setiap kebijakan yang dilakukan dalam satu negara. Ketika negara tidak lagi memperhitungkan keberbedaan budaya, maka akan muncul satu kesenjangan antara tujuan yang mau dicapai dengan kenyataan yang terjadi. Hal ini terlihat jelas dengan adanya perang saudara yang terjadi antara pemerintah dan kelompok yang disebut sebagai pemberontak. Kelompok pemberontak ini sebenarnya adalah kelompok yang masih tetap mempertahankan keaslian yang dimiliki oleh orang Jepang dan diturunkan dari nenek moyang mereka. Kebiasaan seperti inilah yang melekat dalam diri kelompok yang disebut sebagai kelompok pemberontak. Tetapi perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil walaupun harus menuntut korban. Banyak orang yang meninggal dalam perang yang tidak seimbang tersebut. Kesetiaan dan ketaatan terhadap pesan dan tradisi nenek moyang, membuat mereka secara ksatria dan berani mati di medan perang demi mempertahankan keyakinan mereka. Film ini mau menggambarkan keberagamam kultur yang dimiliki oleh masing-masing negara dengan ciri khas masing-masing yang jika dihadapkan dengan kultur atau budaya dari bangsa lain maka akan ada benturan di sana. Orang Jepang misalnya, akan merasa malu jika ia mengalami kekalahan dalam perang. Mati dalam perang dianggap sebagai suatu kebanggaan, dan kekalahan akan membawa rasa malu yang berujung pada membunuh diri sendiri. Dalam Film ini, terlihat perbedaan pandangan mengenai kekalahan itu. Ketika pemimpin pemrontakan itu sudah mengalami kekalahan, yang dia lakukan adalah membunuh diri sendiri. Berbeda dengan kolonel yang berasal dari Barat yang tetapi optimis dan tidak merasa malu walaupun dia kalah dalam perang. Perbedaan lain muncul dalam cara menghargai seseorang atau sesama. Budaya Timur sangat menghargai sesamanya dengan membungkuk ketika berpapasan atau hendak menyapa sesama. Contoh lain seperti melepaskan sepatu ketika masuk dalam rumah. Semua kebiasaan seperti ini berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya.
Menurut Hofstede, sebuah bangsa memiliki budaya. Hofstede sendiri telah mengklaim telah sukses menyingkap rahasia kebudayaan bangsa tersebut dalam lima dimensi yang dapat digambarkan secara hirarki. Pada tahun 1994, ia juga mengklaim skala penerimaan dari notasinya mengenai kebudayaan bangsa yang disebutnya sebagai perubahan paradigma yang nyata telah terjadi. Hofstede dalam penelitiannya mengelompokkan masyarakat yang satu dengan masyarakat lain yang kemudian dibedakan budayanya dari berbagai aspek termasuk budaya toleransi kekuasaan atau (power distance). Budaya akan dapat mempengaruhi persepsi karir seseorang meskipun pada tingkat analisis individual. Dari tingkat analisis individual, budaya pada umumnya akan mempengaruhi anggota organisasi termasuk mempengaruhi gaya kepemimpinan atau leadership style.
Ada lima dimensi dari nilai kultur yang ada dalam satu masyarakat menurut Hofstede yaitu:
  • Jarak kekuasaan: tingkatan di mana individu dalam satu masyarakat atau negara setuju bahwa kekuasaan dalam institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak sama. Peringkat yang tinggi atas jarak kekuasaan berarti bahwa ketidaksamaan kekuatan dan kekayaan yang besar ada dan ditoleransi dalam kultur tersebut.
  • Individualisme versus kolektivisme: individualisme adalah tingkatan di mana individu lebih suka bertindak sebagai individu dari pada sebagai anggota dalam satu kelompok. Sedangkan kolektivisme menekankan kerangka sosial yang kuat di mana individu mengharap individu lain dalam kelompok mereka untuk menjaga dan melindungi mereka.
  • Maskulinitas versus femininitas: tingkatan di mana kultur lebih menyukai peran maskulini tradisional seperti pencapaian, kekuatan, dan pengendalian versus kultur yang memandang pria dan wanita memiliki kedudukan yang sejajar.
  • Penghindaran ketidakpastian: tingkat dimana individu dalam satu negara lebih memilih situasi yang terstruktur dibandingkan situasi tidak terstruktur.
  • Orientasi jangka panjang versus orientasi jangka pendek: berfokus pada tingkat ketaatan jangka panjang masyarakat terhadap nilai-nilai tradisional. Individu dalam kultur organisasi dengan orientasi jangka panjang melihat ke masa depan dan menghargai penghematan, ketekunan dan tradisi.
Dari kelima dimensi yang ditawarkan oleh Hofstede ini, kita bisa melihat kebenarannya dalam film The Last Samurai. Dimensi yang pertama adalah jarak kekuasaan. Jarak kekuasaan menurut Hofstede adalah tingkatan di mana individu dalam satu masyarakat atau negara setuju bahwa kekuasaan dalam institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak sama. Jadi semacam ada tingkatan kedudukan dalam satu masyarakat. Ketika ada jarak kekuasaan yang dilegitimasi maka muncul golongan bawah dengan golongan atas, dan masyarakat menerimanya tanpa satu resistensi yang berarti. Dalam film ini sangat jelas terlihat bahwa budaya Jepang sangat menghargai seorang kaisar. Ketika menghadap kaisar, orang harus bertindak sopan, berkatutur kata yang sopan dan sikap tubuh yang sopan juga. Sebelum berbicara harus membungkukan badan dan sesusah berbicara, tindakan yang sama harus dilakukan lagi. Ketika hendak pulang, orang tidak langsung membalikan badan dan pergi tetapi mundur beberapa langkah baru bisa membalikan badan lalu pergi. Selain itu, ketaatan mereka terhadap seorang kaisar sangat mutlak.
Dari kata Samurai sendiri kita dapat melihat dan mengerti bahwa orang Jepang sangat menghargai dan sangat taat pada Kaisar. Samurai yang artinya melayani, menjadi kata kunci ketaatan mereka terhadap Kaisar. Mereka hanya turut terhadap perintah kaisar. Ketik ada larang untuk memotong pendek rambut, tidak membawa pedang masuk ke dalam ruang pertemuan, adalah larangan dari Undang-Undang yang dibentuk pemerintah. Masyarakat yang mempertahanan tradisi tidak setuju dengan larangan tersebut dan mengatakan bahwa jika kaisar melarang maka mereka akan menurutinya. Mereka hidup untuk melayani seorang kaisar, dan ini adalah satu kebanggan batin tersendiri bagi mereka. Mereka tunduk secara mutlak terhadap perintah Kaisar. Jarak kekuasaan yang didefenisikan oleh Hofstede terbukti dari film ini. Realitas seperti ini sama seperti apa yang ada dalam Hierachy Culture yang didasarkan pada teori birokrasi Weber dan nilai tradisi, konsistensi, kooperasi, dan penyesuaian. Model hirarchy lebih fokus pada isu internal dibanding isu eksternal dan nilai kestabilan dan kendali di atas fleksibilitas dan pertimbangan. Hal ini merupakan model "perintah dan kendali" yang tradisional dalam organisasi, yang bekerja baik jika tujuannya adalah efisiensi dengan syarat lingkungan organisasinya stabil dan sederhana. Atau hanya ada sedikit perubahan pelanggan, pilihan pelanggan, kompetisi, teknologi, dan lain lain.
Dimensi yang kedua adalah individualisme versus kolektivisme. Kolektivisme menekankan kerangka sosial yang kuat di mana individu mengharap individu lain dalam kelompok mereka untuk menjaga dan melindungi mereka. Aspek kolektivisme ini masih sangat kental terasa dalam masyarakat Timur. Dari film ini kita bisa menyaksikan bagaimana kehidupan masyarkat yang masih hidup berkelompok dengan rukun. Mereka hidup dengan tenang dan saling membantu satu sama lainnya. Setiap hari mereka melakukan segala sesuatu secara bersama-sama. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik bagi kolonel Amerika yang “tersesat” masuk dan merasakan kehidupan bersama mereka. Dia begitu terkagum dengan kebersamaan yang mereka bangun dalam kehidupan bersama mereka. Tidak ada pihak yang berusaha untuk meneror sesama dan tidak ada yang berusaha untuk saling menguasai. Semunya berjalan sesuai dengan hukum alam yang berlaku. Bahkan dalam buku hariannya, sang kolonel tersebut mengatakan bahwa di tempat inilah dia bisa menghirup udaha. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa ada satu nuansa baru yang membuatnya merasa tenang dan jauh dari hiruk-pikuk dunianya yaitu dunia Barat. Sang kolonel merasakan ada kebersamaan yang tidak ia rasakan selama ini. Tempat di mana ada persaudaraan, saling membantu dengan tulus. Semua ini menjadi ciri khas masyarakat yang masih tergolong dalam masyarakat kolektivif. Berbeda dengan masyarakat yang individual, yang mementingkan diri sendiri dan kurang atau bahkan tidak peduli dengan orang lain di sekitarnya.
Dimensi ketiga adalah Maskulinitas versus femininitas: tingkatan di mana kultur lebih menyukai peran maskulin tradisional seperti pencapaian, kekuatan, dan pengendalian versus kultur yang memandang pria dan wanita memiliki kedudukan yang sejajar. Maskulinitas ini memang menjadi ciri khas masyarakat Timur. Seorang perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Seorang perempuan hanya berperan sebagai pelayan bagi suaminya. Peran perempuan dalam film ini memang sangat penting bagi sang kolonel. Sang kolonel dirawat dengan penuh ketulusan walaupun dia telah membunuh suaminya. Inilah kekuatan terbesar yang dimiliki kaum perempuan ketika mereka harus memikul sendiri beban yang ada dalam hatinya. Kultur maskulinitas ini memandang kaum laki-laki sebagai yang nomor satu. Pencapaian tujuan hanya dapat dilakukan oleh kaum pria, kekuasaan hanya dimiliki oleh kaum pria dan pengendalan atas hidup juga menjadi tugas seorang pria. Peran wanita direduksi hanya sebatas urusan dapur. Dalam film ini, peran perempuan ditonjolkan dengan sedikit memberikan penekanan pada peran kaum perempuan. Dalam film ini, perempuan yang merawat sang kolonel menjadi wakil dari sekian banyak kaum perempuan yang disepelekan peran dan tugasnya. Tetapi bukan berarti mereka tidak mempunyai andil apa-apa.
Dimensi keempat adalah Penghindaran ketidakpastian: tingkat dimana individu dalam satu negara lebih memilih situasi yang terstruktur dibandingkan situasi tidak terstruktur. Salah satu dimensi dari Hofstede adalah mengenai bagaimana budaya nasional berkaitan dengan ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka beradaptasi terhadap perubahan. Pada negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar, cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, menghindari risiko dan mengandalkan peraturan formal dan juga ritual. Kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman yang terdekat. Akan sulit bagi seorang negotiator dari luar untuk menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan dari mereka. Pada negara dengan uncertainty avoidance yang rendah, atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian, mereka cenderung lebih bisa menerima risiko, dapat memecahkan masalah, memiliki struktur organisasi yang flat, dan memilki toleransi terhadap ambiguitas. Bagi orang dari masyarakat luar, akan lebih mudah untuk menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan.
Dalam film ini kita juga melihat penghindaran kepastian yang berhubungan dengan cara menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, mengandalkan peraturan formal dan ritual. Kepercayaan hanya diberikan kepada teman dekat dan keluarga. Orang Jepang dalam film ini sebenarnya belum siap menerima adanya perubahan dalam negara sendiri. Pemikiran mereka masih tetapi untuk mempertahankan tradisi dengan tidak terbuka terhadap perubahan. Tetapi menarik bahwa mereka bisa percaya terhaap seorang asing yang awalnya adalah musuh mereka sendiri. Inilah satu nilai penting yang menjadi faktor penentu keberhasilan mereka dalam menyampaikan pesan terakhir kepada kaisar. Dan justru kolonel asing (Nathan Algren) tersebutlah yang menjadi orang yang bisa membawa pesan dan pedan terakhir kepada kaisar. Ini membuktikan bahwa daya juang masyarakat timur dengan masyarakat barat agar berbeda.
Dimensi yang kelima adalah orientasi jangka panjang versus orientasi jangka pendek: berfokus pada tingkat ketaatan jangka panjang masyarakat terhadap nilai-nilai tradisional. Individu dalam kultur organisasi dengan orientasi jangka panjang melihat ke masa depan dan menghargai penghematan, ketekunan dan tradisi. Orientasi jangka panjang menjadi nyata dalam masyarakat Jepang yang sangat mempertahankan tradisi. Hal ini nampak dari ucapan Katsumoto kepada Nathan bahwa “Kuil ini dibangun oleh keluargaku seribu tahun yang lalu.” Warisan nenek moyang sangat dihargai dan dipertahankan walaupun harus mempertaruhkan nyawa. Keterikatan dengan warisan nenek moyang menjadi satu ciri yang mencolok dalam masyarakat Timur. Samurai juga adalah satu peninggalan dari leluhur yang perlu dilestarikan. Sistem perang yang menggunakan alat-alat tradisional masih terus dipertahankan. Semua ini tidak terlepas dari apa yang dipegang dan diyakini sebagai sebuah kekayaan yang tidak begitu saja dibuang begitu saja. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar