Selasa, 30 Juli 2013



SEKELUMIT PEMIKIRAN DALAM BUKU
 “POLITIK BERAS DAN BERAS POLITIK”

Siang itu, udara kota Semarang sangat panas. Aku memilih untuk berlindung sejenak di depan perpustakaan kampus. Secara tidak sengaja, mata saya memandang ke arah sebuah box kaca di depan perpustakaan yang biasa dipakai untuk memajang buku-buku terbitan kampus. Terlihat satu buku dengan sampul biru yang didesign dengan cukup rapih dan menarik. Sang penulis memberikan judul yang menarik atas karyanya tersebut: “Politik Beras dan Beras Politik”. Saya cukup penasaran dengan judul dan terutama isi dari buku tersebut. Untuk memuaskan rasa keingintahuan saya, maka saya memberanikan diri untuk mencabut selembar rupiah dari dompet saya untuk bisa mendapatkan buku tersebut.
Buku ini merupakan buntelan opini terpilih dari salah seorang dosen di UNDIP; Prof. Dr. Purbayu Budi Santosa, M.S. Dari data diri beliau, dapat dilihat bahwa penulis mempunyai keprihatinan yang tinggi terhadap wong cilik. Dari judul buku yang ditulisnya, sudah dapat kita lihat alur pembelaan yang dilakukan dalam tulisan ini adalah kaum petani. Indikatornya jelas, bahwa beras hanya diperoleh dari hasil keringat para petani yang hingga saat ini masih merayap dan tergilas oleh perkembangan industri yang salah sasaran. Buntelan opini yang dimuat di beberapa media lokal ini kiranya dapat memberikan kita beberapa pendasaran mengapa kita mau berdarah-darah membela kaum petani di saat pembangunan yang dengan kukuhnya yang tajam mencengkram kaum kecil dan yang lemah.
Lewat tulisan yang sangat sederhana ini (maklum ide muncul di saat mata sudah menuntut untuk berhenti berkedip sejenak) saya mencoba mensharingkan beberapa pokok permasalahan dan solusi yang bisa kita perjuangkan bagi para petani yang tidak lain adalah orang tua kita sendiri. Buku ini juga membantu kita sedikitnya mengerti mengapa ada begitu banyak paradox yang terjadi di Republik Sialan ini (meminjam kata Max Regus dalam bukunya “Republik Sialan”).
Dalam bagian pertama buku ini, penulis langsung secara terang-terangan memberikan judul tulisannya: “Pertanian Mengatasi Kemiskinan”  Spontan muncul pertanyaan dalam pikiran saya, apakah benar bahwa pertanian dapat mengatasi kemiskinan? Jika benar, mengapa Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah petani justru menjadi golongan yang termiskin? Stigma yang ada dalam otak kita ketika kita mendengar kata petani, adalah kemiskinan. Petani menjadi satu senyawa dengan kemiskinan. Ketika mendengar atau membaca tentang petani, maka destinasi pemikiran kita akan berlabuh pada satu kata yaitu miskin. Petani kemudian menjadi indentik dengan kemiskinan. Lalu mengapa muncul keyakinan bahwa pertanian dapat mengatasi kemiskinan? Jika keyakinan ini benar, maka ada sesuatu yang tidak beres dengan system pertanian dan para petani kita.
Secara garis besar, perkembangan pertanian kita sejak zaman orde lama hingga pascareformasi ini, tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Program pemerintah yang pro pertanian sepertinya hanya slogan paruh waktu ketika ada moment tertentu. Tapi pada kenyataannya, bahwa perhatian penuh terhadap sector pertanian masih belum memuaskan. Sudah 60’an tahun kita merdeka tetapi nasib para petani tidak berubah. Walaupun demikian, sejarah telah menuliskan dengan tinta emas bahwa Indonesia pernah berhasil menjalankan program swasembada pangan yang kemudian menghantar presiden Soeharto menerima penghargaan dari organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO) di Roma, Italia. Indonesia juga menjadi satu Negara contoh bagi Negara-negara berkembang lainnya dalam hal mengatasi kekurangan pangan dan bahaya kelaparan.
Jika memang demikian, mengapa di saat sekarang ini, kita menjadi Negara pengimpor beras? Apakah kita tidak mempunyai lahan untuk menanam padi? Saya pikir kemungkinan ini sangat tipis. Masih banyak lahan kosong yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang pada semua lapisan masyarakat. Ada kelemahan mendasar yang kiranya dapat kita refleksikan dan kita pikirkan untuk mencari solusi yang tepat dan cepat. Kelemahan yang dimaksud adalah bahwa telah terjadi perubahan struktur perekonomian. Sumbangan terbesar terhadap pendapatan nasional berasal dari sector atau dari bidang industry manufaktur. Dan lebih disayangkan lagi adalah banyak tenaga kerja masih terkungkung dalam sector pertanian. Hal ini membuktikan bahwa bias pembangunan telah mengarah kepada sector industry dari pada pertanian. Ditambah lagi dengan industry berteknologi tinggi yang lebih banyak menyerap bahan baku impor. Ujung dari realitas ini adalah industry pada modal dengan sedikit menyerap tenaga kerja.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah kita. Yang pertama: masalah urusan pangan dan kebutuhan pokok adalah pilihan pertama yang harus disadari dan dijalankan oleh pemerintah. Pelepasan kepada mekanisme pasar adalah satu jebakan dari lebaga resmi dunia, yang bisa juga menyesatkan. Yang kedua, pembangunan industry sudah saatnya menggunakan sumber daya local, salah satunya adalah sector pertanian. Agroindustri pedesaan yang berbasis kerakyatan menjadi pilihan yang tepat dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Ketiga, ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan lahan memerlukan satu kebijakan penataan ulang lahan yang baik di mana ada penetapan lahan abadi untuk pertanian. Keempat, struktur pasar bidang pertanian yang bukan persaingan sempurna perlu diterapkan hukum yang ketat untuk standar harga komoditas tertentu agar para petani tidak dirugikan. Kelima, membangun sarana dan prasarana yang memadai yang kiranya dapat membantu pada petani kita untuk mendistribusikan hasil panennya dalam jumlah yang lebih besar.
Beberapa pandangan dan anjuran di atas dapat menjadi bahan pertimbangan bagi kita untuk bangkit menjadi agen perubahan yang dapat dipercaya. Solusi yang ditawarkan di atas bukannya tidak mungkin untuk kita lakukan. Rumusannya memang agak mengambang tetapi intinya jelas bahwa perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan berawal dari kesadaran akan keadaan diri kita sendiri. Ketika kita sadar bahwa kita miskin, kita tentu berbuat sesuatu untuk keluar dari keterpurukan kita. Kemauan yang tinggi untuk keluar dari garis kemiskinan ini menuntut kita untuk lebih giat lagi berjuang. Pihak berikut yang harus mendukung adalah pemerintah. Dukungan sarana dan prasaran serta subsidi sementara dari pemerintah masih sangat dibutuhkan di sini agar bisa menghasilkan produk unggulan.
Masih banyak hal yang menarik yang bisa kita pelajari dan modifikasi lagi dari pemikiran sederhana dalam buku ini. Kalau masih ada waktu kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar